s
Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Hari Pahlawan, Bolehkah Guru di Sebut Sebagai Pahlawan?

Tanggal 10 November biasa diperingati sebagai hari pahlawan. Tidak mudah memang untuk mendapatkan gelar pahlawan, terlebih di zaman sekarang yaitu masa damai di Indonesia ini dan semoga kita terus diberi nikmat kedamaian di negeri ini. Jika pada zaman penjajahan dulu, para pendahulu kita berjuang mati-matian dengan harta, raga bahkan jiwa untuk mendapatkan kemerdekaan. Dengan perjuangan yang panjang tersebut, ribuan pendahulu kita telah gugur dan mereka layak menyandang gelar pahlawan –atau syuhada jika mereka muslim. Berkat kemurahan Allah kemudian perjuangan mereka, maka kini kita dapat menikmati hasil perjuangan para pahlawan tersebut berupa kemerdekaan. Sebuah nikmat yang saat ini bangsa-bangsa lain belum menikmatinya, misalnya di Suriah, Palestina, dan negeri-negeri lain yang dilanda kekacauan perang.


Namun tidak adanya perang bukan berarti kita kehilangan pahlawan, setelah bangsa ini merdeka muncullah pahlawan-pahlawan baru yang mengisi kemerdekaan, dan ijinkan saya menyebut salah satu pahlawan baru tersebut dengan sebutan “Guru”. Ya, menurut anda layakkah guru menyandang gelar pahlawan?  Dan inilah beberapa hal yang dapat menjadi pertimbangan guru disebut pahlawan:

Guru Bekerja “dengan Ikhlas”

Orang bilang “jangan jadi guru kalau mau kaya”, perkataan ini ada benar dan ada salahnya. Berapa gaji guru honorer? Anda akan kaget jika bertanya kepada guru-guru honorer yang mengajar di daerah 3T (terdepan, terluar, dan tertinggal), gaji mereka sangatlah minim, ada yang di gaji 300ribu perbulan, bahkan ada yang digaji 300 ribu pertiga bulan, artinya perbulan hanya 100 ribu. Dan ini nyata, bahkan teman saya –admin- ketika yang menjadi guru SMK di daerah Sumba ada yang digaji 700 ribu. Sementara biaya hidup di sana sangat mahal. Dengan alasan inilah maka seorang guru layak diberi gelar pahlawan, karena berjuang dengan ikhlas demi pendidikan bangsa.

Tidak Ada Tunjangan di Hari Tua

Sama seperti pejuang-pejuang kemerdekaan, ketika mereka sudah tua (veteran) maka tidak ada tunjangan-tunjangan bagi mereka. Bahkan ada foto yang sempat booming di sosial media tentang seorang veteran tua yang makan nasi dipinggir jalan dengan berharap belas kasih orang lain. Padahal di masa mudanya dia adalah seorang pejuang kemerdekaan. Maka demikian halnya seorang guru –non PNS. Ketika masa tugasnya selesai, maka nasibnya ditanggung dirinya.

Tidak Ada Payung Hukum yang Melindungi

Bekerja sebagai guru di masa sekarang bagai makan buah simalakama, ketika guru membiarkan siswa yang nakal maka guru tersebut di salahkan karena tidak mendidik siswanya. Dan ketika guru mengingatkan siswanya yang nakal entah dengan cubitan kecil saja, maka guru tersebut harus siap-siap berhadapan dengan kepolisian jika sang anak atau orangtua melapor kepada kepolisian. Maka tidak adanya payung hukum yang melindungi guru membuat guru menjadi dilema dalam menghadapi anak didiknya.
Masih hangat dipikiran kita, beberapa guru dilaporkan polisi bahkan ada yang telah mendekam di jeruji besi hanya gara-gara bertindak fisik (yang sebenarnya biasa saja atau kecil seperti mencubit). Namun demikianlah, perjuangan guru dalam mendidik siswa kadang justru “dibalas” oleh siswa atau orang tua siswa dengan memenjarakan gurunya.

Belum lagi, baru-baru ini ada video seorang bocah SD yang mengata-ngatai dan menantang gurunya, namun ibu guru tersebut masih sabar menghadapi kelakuan buruk anak didiknya tersebut. Berbagai fenomena ini menunjukkan betapa perjuangan seorang guru dalam mendidik generasi penerus bangsa semakin berat.

Guru Berperang Melawan Kebodohan

Yang terakhir, guru dan pahlawan kemerdekaan sama-sama berperang. Namun jika pahlawan kemerdekaan berjuang melawan penjajah, maka guru berperang melawan kebodohan. Banyak cara yang digunakan oleh guru demi melawan kebodohan yang terus menerus menjangkiti anak bangsa. Dan guru pun tahu, bahwa peperangan melawan kebodohan tidak akan pernah ada akhirnya, dan hanya akan berakhir dengan cara berakhirnya masa tugas dirinya atau bahkan hingga ajal menjemputnya. Kemudian perjuangan dalam melawan kebodohan akan diteruskan oleh guru berikutnya. Itulah estafet perjuangan seorang guru. Yang tidak mengharapkan imbalan apapun ketika anak didiknya menjadi orang besar, yang selalu memanjatkan doa untuk anak didiknya, agar kiranya Tuhan yang Maha Pemurah memberikan hidayah, akhlaq, kecerdasan, keberhasilan, dan karakter yang baik bagi siswa-siswanya.
Jika mereka tidak menganggapmu pahlawan, maka biarlah kami yang akan menganggapmu pahlawan, wahai bapak ibu guru.. (by Setyo)